i. Demi menerapkan hadîts yang menjadi kajian kita kali ini.
ii. Agar tidak menjadi preseden buruk bagi munculnya kasus-kasus lain yang serupa, demi menjaga keutuhan rumah tangga kaum muslimin.
iii. Hal ini terhitung dalam kategori kaidah fiqih: man ta’ajjala syai-an qabla awânihi ‘ûqiba bihirmânihi (siapa yang terburu-buru mendapatkan sesuatu sebelum saatnya, maka ia dihukum dengan tidak diperkenankan mendapatkan sesuatu itu).
ii. Agar tidak menjadi preseden buruk bagi munculnya kasus-kasus lain yang serupa, demi menjaga keutuhan rumah tangga kaum muslimin.
iii. Hal ini terhitung dalam kategori kaidah fiqih: man ta’ajjala syai-an qabla awânihi ‘ûqiba bihirmânihi (siapa yang terburu-buru mendapatkan sesuatu sebelum saatnya, maka ia dihukum dengan tidak diperkenankan mendapatkan sesuatu itu).
Kaidah ini pada asalnya berlaku
bagi seseorang yang melamar dengan kata-kata sharîh seorang wanita yang
masih dalam masa iddah (tunggu) pasca kematian suaminya. (Q.S.
Al-Baqarah: 235).
Logikanya, jika melamar dengan kata-kata sharîh
terhadap seorang wanita yang masih dalam masa iddah karena kematian
suaminya saja tidak dibenarkan,
padahal dalam hal ini tidak ada aspek
perusakan yang berakibat terciptanya perceraian wanita itu dari suaminya
(karena memang suaminya telah meninggal),
maka, jika ada seseorang yang
merusak seorang wanita yang masih bersuami, sehingga tercipta
perceraian wanita itu dari suaminya, hukumnya tentunya lebih berat
daripada yang dimaksud dalam kaidah fiqih ini.
Untuk itulah, jika akan
terjadi pernikahan antara sang lelaki perusak hubungan dengan wanita
“korban” tindakan perusakannya, maka, hal ini harus dicegah, dan jika
sudah kadung terjadi pernikahan di antara keduanya, maka, pernikahan itu
harus dibatalkan.
Yang lebih menarik lagi dari pendapat Mâlikiyyah ini adalah: ada sebagian dari ulama’ Mâlikiyyah yang berpendapat bahwa wanita “korban” tindakan perusakan seorang lelaki, menjadi haram selamanya bagi sang lelaki perusak tersebut.
Perbedaan pendapat ini kami sebutkan di sini sebagai peringatan keras bagi siapa saja agar tidak melakukan perbuatan seperti ini, walaupun, secara hukum fiqih, pendapat Jumhur lebih kuat, akan tetapi, pendapat Mâlikiyyah, perlu kita jadikan sebagai cambuk peringatan.
2. Jika ada seseorang yang melakukan perbuatan terlarang ini, adakah ia perlu mendapatkan hukuman di dunia?
Para ulama’ berpendapat bahwa perbuatan terlarang seperti ini, jika ada yang melakukan, maka hakim berwewenang menjatuhkan ta’zîr (hukuman yang ketentuannya ditetapkan oleh hakim atau penguasa) dengan syarat tidak melebihi bobot 40 cambukan.
Di antara mereka ada yang berpendapat, hukumannya adalah kurungan penjara sampai ia menyatakan tobat atau meninggal dunia (sebagian penganut Mazhab Hanafî)
Di antara mereka ada yang berpendapat, cukup diberi cambukan keras saja, dipublikasikan perbuatannya, agar orang waspada darinya dan agar orang lain mengambil ibrah (sebagian penganut madzhab Hanbalî).
Catatan Lain
Ada satu hal yang menarik untuk dicatat di sini, yaitu tentang sikap para ulama’ saat menyebutkan hadîts ini.
Sebagian mereka mencantumkan hadîts yang sedang kita kaji ini dalam bab “orang yang merusak hubungan suami istri”, tanpa embel-embel ancaman dalam kalimat babnya. Seperti yang dilakukan oleh Imam Al-Nasâ-î dan Al-Bazzâr.
Akan tetapi, ada sebagian dari mereka yang mencantumkan hadîts yang sedang kita kaji ini dalam bab yang mengandung kalimat ancaman, seperti: al-zajr (penjelasan untuk membuat jera), al-tasydîd (peringatan keras), sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ibn Hibbân dan Imam Al-Baihaqî.
Yang menarik adalah ada sebagian ulama’ yang mengkategorikan hadîts ini ke dalam bab makar dan tipu daya, sebagaimana yang dilakukan oleh kitab kanz al-‘Ummâl.
Semoga kita semua terhindar dari perbuatan yang sangat tercela ini, amin.
Yang lebih menarik lagi dari pendapat Mâlikiyyah ini adalah: ada sebagian dari ulama’ Mâlikiyyah yang berpendapat bahwa wanita “korban” tindakan perusakan seorang lelaki, menjadi haram selamanya bagi sang lelaki perusak tersebut.
Perbedaan pendapat ini kami sebutkan di sini sebagai peringatan keras bagi siapa saja agar tidak melakukan perbuatan seperti ini, walaupun, secara hukum fiqih, pendapat Jumhur lebih kuat, akan tetapi, pendapat Mâlikiyyah, perlu kita jadikan sebagai cambuk peringatan.
2. Jika ada seseorang yang melakukan perbuatan terlarang ini, adakah ia perlu mendapatkan hukuman di dunia?
Para ulama’ berpendapat bahwa perbuatan terlarang seperti ini, jika ada yang melakukan, maka hakim berwewenang menjatuhkan ta’zîr (hukuman yang ketentuannya ditetapkan oleh hakim atau penguasa) dengan syarat tidak melebihi bobot 40 cambukan.
Di antara mereka ada yang berpendapat, hukumannya adalah kurungan penjara sampai ia menyatakan tobat atau meninggal dunia (sebagian penganut Mazhab Hanafî)
Di antara mereka ada yang berpendapat, cukup diberi cambukan keras saja, dipublikasikan perbuatannya, agar orang waspada darinya dan agar orang lain mengambil ibrah (sebagian penganut madzhab Hanbalî).
Catatan Lain
Ada satu hal yang menarik untuk dicatat di sini, yaitu tentang sikap para ulama’ saat menyebutkan hadîts ini.
Sebagian mereka mencantumkan hadîts yang sedang kita kaji ini dalam bab “orang yang merusak hubungan suami istri”, tanpa embel-embel ancaman dalam kalimat babnya. Seperti yang dilakukan oleh Imam Al-Nasâ-î dan Al-Bazzâr.
Akan tetapi, ada sebagian dari mereka yang mencantumkan hadîts yang sedang kita kaji ini dalam bab yang mengandung kalimat ancaman, seperti: al-zajr (penjelasan untuk membuat jera), al-tasydîd (peringatan keras), sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ibn Hibbân dan Imam Al-Baihaqî.
Yang menarik adalah ada sebagian ulama’ yang mengkategorikan hadîts ini ke dalam bab makar dan tipu daya, sebagaimana yang dilakukan oleh kitab kanz al-‘Ummâl.
Semoga kita semua terhindar dari perbuatan yang sangat tercela ini, amin.
Sumber: dakwatuna.com
KEMBALI KE AWAL...<<<
BACA INFO PENTING INI JUGA...:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar